Ilmu tafsir merupakan salah satu cabang keilmuan Islam yang paling awal berkembang setelah turunnya Al-Qur’an. Sejak masa Nabi Muhammad SAW, kebutuhan untuk memahami pesan ilahi secara tepat telah melahirkan tradisi tafsir yang kuat. Di masa Nabi, tafsir bersifat langsung—beliau menjelaskan makna ayat-ayat Al-Qur’an kepada para sahabat sesuai dengan konteks turunnya ayat (asbabun nuzul) dan kebutuhan umat saat itu. Penafsiran di masa awal ini bersumber pada wahyu, hadis, dan pemahaman sahabat yang sangat dekat dengan realitas pewahyuan.
Memasuki masa Khulafaur Rasyidin dan generasi tabi’in, tafsir mulai mengalami perluasan. Para ulama seperti Ibnu Abbas dan Mujahid mulai menafsirkan ayat dengan pendekatan linguistik, sejarah, dan riwayat yang lebih sistematis. Lalu, pada era klasik, muncullah tokoh-tokoh besar seperti al-Tabari dengan karya monumentalnya Jāmi’ al-Bayān, yang menjadi tonggak utama tafsir bil ma’tsur (berbasis riwayat). Seiring waktu, muncul pula metode tafsir bil ra’yi (berbasis penalaran), yang memberi ruang lebih luas bagi akal dan ijtihad. Perkembangan ini mencerminkan kebutuhan umat yang semakin kompleks dan keberagaman pendekatan dalam memahami Al-Qur’an.
Di era pertengahan, tafsir terus berkembang menjadi lebih tematik dan filosofis. Ulama seperti al-Zamakhsyari membawa pendekatan linguistik dan retoris, sementara Fakhruddin al-Razi memasukkan unsur teologi dan filsafat dalam penafsirannya. Tafsir bukan lagi hanya soal makna harfiah, tapi juga menjadi arena diskusi rasional, spiritual, dan bahkan politik. Kemudian pada abad ke-20 dan seterusnya, muncul gagasan-gagasan baru dari tokoh-tokoh seperti Sayyid Qutb, Fazlur Rahman, dan Muhammad Abduh yang menekankan pentingnya tafsir kontekstual dan sosial dalam menjawab tantangan zaman modern.
Kini, ilmu tafsir tidak hanya berkembang dalam ruang pesantren dan universitas Islam, tetapi juga hadir dalam bentuk digital: melalui e-book, aplikasi, podcast, dan media sosial. Ini menandai perluasan akses terhadap tafsir sekaligus tantangan baru dalam memastikan otentisitas dan kedalaman maknanya. Menelusuri sejarah dan perkembangan ilmu tafsir menunjukkan bahwa pemahaman terhadap Al-Qur’an adalah proses dinamis yang terus bergerak seiring perkembangan ilmu, budaya, dan masyarakat. Tafsir mimpi44 bukanlah milik masa lalu, melainkan warisan hidup yang terus ditulis ulang oleh zaman dan dibaca ulang oleh setiap generasi.